Jumat, 31 Januari 2020

Corona ala santri

Gurauan ala santri kali ini mengatakan "Corona dalam ilmu nahwu, mengandung dhomir mutakallim ma'al ghair yang artinya dia mewakili orang banyak (na), sehingga virus tersebut menumbangkan banyak orang. Coba jika namanya Corotu, pasti hanya seorang saja yang terkena (tu)"

Ucapan di atas, sekedar usaha untuk menghibur diri ditengah kabar yang beredar tentang virus mematikan yang mengkhawatirkan banyak orang. Selain itu, hawa panas tanpa angin kali ini cukup membuat gerah seluruh santri. 

Di dunia pesantren, tentu semua anak pernah mengalami keadaan sakit, baik yang ringan seperti gatal, flu, pusing, dan batuk. Atau sakit yang agak berat seperti tipes, asma, atau bahkan muntaber. Cuaca dan musim yang sedang berganti, makanan yang kurang memenuhi gizi, atau bahkan kegiatan yang tidak seimbang dengan asupan energi dapat mempengaruhi itu semua. Dan untuk melaluinya, santri diharuskan bersabar dan mampu menyelesaikan tantangan yang tengah dihadapi meski harus bersusah payah hingga berurai airmata. 

Ada beberapa makna sabar dalam hal ini, diantaranya; Sabar dalam menghadapi suatu musibah atau cobaan. Seseorang yang terkena musibah, hendaklah mengucap kalimat Istirja' atau lafaz Innalillahiwainnailaihiroji'un. Untuk berusaha ikhlas dan mengembalikan semua pada pemilik aslinya. 

Lalu yang kedua, sabar dalam mentaati kebenaran. Termasuk ibadah dan melakukan kebaikan. Baik dalam hal apapun dan pada siaapun, termasuk mengajak orang lain untuk berbuat baik, karena pada dasarnya "Muslim yang satu adalah cermin bagi muslim lainnya". 

Kemudian yang terakhir adalah sabar dalam menjauhi segala larangan. Sekecil apapun suatu larangan yang telah ditetapkan agama, pasti memiliki kemudharatan atau akibat yang tidak baik. Contoh, misal dalam agama Islam dilarang adanya pacaran, tetapi membolehkan ta'aruf atau pengenalan lebih dalam. 

Kenapa? Karena dalam ta'aruf, masing-masing calon didampingi keluarganya sehingga ada tanggungjawab bersama. Jika ada kecocokan, maka kedua belah pihak melanjutkan ke jenjang pernikahan. Jika tidak, maka keduanya telah menyambung silaturrahmi, dan dalam hal ini banyak sekali keutamaannya. 

Lalu kenapa melarang adanya pacaran? Pertama, kedua belah pihak pada awalnya tidak melibatkan keluarga (kebanyakan). Tidak ada rasa tanggungjawab yang besar jika terjadi ketidakcocokan dikemudian hari. Ketiga, rasa atau simpati pasti mengalahkan logika (akal), sehingga bujuk rayu setan atau hawa nafsu lebih dominan. 

Sehingga dalam dunia santri, ujian terbesar adalah masalah "rasa". Ibarat virus, ia ada dan berakibat meski tak nampak secara kasat mata. Dan tentunya terdapat antibodi untuk menangkalnya, dan itu adalah dengan bersabar. Karena kita santri, bukan politisi. 


Kamis, 23 Januari 2020

Isy Kariman

Isy Kariman, au Mut Syahidan.

Pepatah arab mengatakan "Hiduplah dengan mulia, atau matilah secara syahid". Pesan ini seringkali dibuat motto oleh anak-anak di pesantren. Karena memang, pesan yang tersirat sangat dalam.

Seorang santri yang telah direlakan oleh orangtuanya untuk belajar hidup mandiri dengan orang lain, diharapkan mampu merubah perilaku yang sebelumnya kurang baik, merubah perkataan maupun pikiran yang kurang pantas, merubah kebiasaan manja ataupun bermalas-malasan, bahkan merubah cara ibadah yang belum sesuai syariat atau ketetapan.

Pesan yang terkandung dari pepatah arab tersebut mencakup dua hal. Yang pertama agar kita hidup secara mulia. Dalam hal ini tentu sangat luas pengertiannya. Mulia di kalangan santri berati dapat berperilaku baik kepada diri sendiri, sesama, bahkan terhadap alam disekitarnya.

Kemudian yang kedua, haruslah berharap pada akhir yang husnul khatimah. Tentu saja untuk mendapatkannya perlu persiapan yang sempurna. Persiapan dalam hal ini adalah pembiasaan berperilaku baik dalam hal apapun. Karena, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW. bahwa seseorang akan diwafatkan pada kondisi yang sesuai dengan kebiasaannya.

Kehidupan ala santri memang mengajarkan seseorang untuk berimbang antara ibadah pada sang Khalik dan bersosial antar sesama. Meski demikian, tidak ada satu tempat yang dapat menjamin seseorang dapat menjadi baik. Namun, dengan mengenalkan agama, seseorang diharapkan memiliki rambu-rambu dalam kehidupannya.

Dan untuk belajar tentang agama, tentu saja tidak harus di pesantren, asalkan jelas darimana sumber ajaran tersebut. Eranaw, kita tidak hanya hidup di dunia nyata. Untuk itu, mari berhati-hati dalam memilih teman dan lingkungan. Isy kariiman au mut syahiidan, aku santri dan bukan politisi.





Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....