Selasa, 24 September 2019

Gema III

Kamu, dan Dia.

Selesai sudah kajian tafsir dari Abah setelah sholat subuh. Para santri bergegas turun ke lantai bawah untuk mengantri mandi. Bahkan mereka rela duduk terkantuk-kantuk pada anak tangga, menunggu giliran masuk ke kamar mandi.

Tiba-tiba suara gadis dari lantai tiga memanggil,
"Lan, ada telepon ini."
"Siapa?"
"Tak tahu aku. Nomor tanpa nama."
"Nanti saja, aku mau masuk ini."
"Ya sudah."

Gadis yang dipanggil "Bulan" itu telah menyelesaikan mandinya. Dia bersiap untuk berangkat kuliah. Lalu saat hendak mengambil sepatu dan turun ke lantai bawah, gawainya berdering memanggil. Ia menatap layar beberapa saat, lalu mengangkatnya.
"Assalamualaikum, ini dengan siapa ya?"
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah akhirnya diangkat juga," Suara lelaki di ujung sana.
"Iya, Anda siapa?" Tanya Bulan sedikit menggertak.
"Sabar Ning, Sabarlah ... Aku Cak Lutfi, mau tanya sesuatu, bolehkan?"
"Cak Lutfi siapa? Kenapa telepon di nomor saya?"
"Lutfi lantai bawah,Ning. Masak tidak tahu?saya semester enam."

Tempat Bulan menetap selama kuliah adalah pesantren mahasiswa atau pondok yang di khususkan bagi mahasiswa dan terletak di sekitar kampusnya. Bangunan ini terdiri dari tiga lantai dengan dua lantai atas dikhususkan untuk mahasiswi dan lantai dasar untuk mahasiswa.

Hening sesaat, lalu,
"Oh iya, Cak. Ada perlu apa ya?"
"Tidak ada apa-apa, Ning. Hanya mau tanya, sampeyan sudah makan?"
Gadis di seberang diam saja.
"Ning, kok diam saja. Apa tidak boleh saya tanya demikian?"
"Tidak apa-apa. Saya sudah makan dan ini mau berangkat. Sudah ya, Cak. Maaf saya tutup. Wassalam."

Bulan bergegas turun ke lantai bawah sambil bersungut. Kenapa juga ada cowok yang menanyakan hal sepele seperti itu, pikirnya.
Ia bertemu teman-teman kampusnya di ujung jalan. Saling bersalaman ala mahasiswa dan bertukar kabar, lalu mereka berjalan menyusuri gang-gang kecil diantara rumah penduduk untuk lebih cepat sampai ke kampus.

"Hai Mbak ... Nanti kita ketemu di warnet ya," Tiba-tiba suara seseorang dari bangku belakang menyambut kedatangan Bulan yang mengambil tempat duduk di baris depan.
"Oh, kamu ternyata. Ke warnet ya, kapan?"
"Kok kamu, sih. Panggil aku "Bin", ya Mbak."
"Iya, Bin. Panggil juga namaku, Bulan." Keduanya tertawa karena nama mereka seakan ditakdirkan untuk bertemu.
"Mbak Bulan tinggal dimana?"
"Tidak usah pakai "Mbak", Lan saja ya," lesung pipit gadis itu nampak di kedua pipinya, ia melanjutkan,
"Aku di gang tiga, Wonocolo. Kamu?"
"Aku semester ini masih ikut teman di daerah Menanggal."
Diam, saling memandang.
"Jadi, kapan kita ke warnet untuk mengirim tugas?" Bulan menyadarkan tujuan awal obrolan mereka.
"Oh, iya. Bagaimana kalau sore sepulang dari kampus? Di gang Muayyad ada warnetnya. Biar sampean gak jauh-jauh."
"Ok, nanti tak ajak teman."
Obrolan mereka harus berakhir dengan masuknya dosen pengampu saat itu.

Sore itu di ujung gang, dua orang gadis berjilbab longgar dengan bawahan sarung tampak menengok ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu,
"Eh, itu dia sudah datang."
"Ok, aku tidak apa-apa ikut nih? Takutnya mengganggu kalian." Seloroh salah satu gadis itu.
"Ih, apaan sih. Tidak apa-apalah, orang kita hanya kirim tugas." Keduanya pun tertawa.

Sebuah sepeda motor beat hitam berhenti di hadapan mereka, lalu pengendaranya membuka helm,
"Maaf menunggu ya. Kalian tahu gang Muayyad kan?"
"Iya, silahkan duluan. Kami menyusul."
Setelah berpamitan, lelaki itu melaju meninggalkan keduanya.
Dua gadis itu berjalan beriringan sambil bercanda sepanjang perjalanan.

Satu komputer telah dipesan oleh laki-laki itu saat dua orang gadis sampai ke warnet. Kebetulan masih banyak komputer yang tidak terpakai, maka teman gadis itu memutuskan untuk memakai komputer lain di samping mereka berdua.

"Lan, sudah punya email?" Tanya laki-laki itu.
"Belum, aku belum pernah buat."
"Mau aku buatkan untukmu? Kebetulan saat SMA dulu aku sudah punya.
"Begitu ya. Oke lah."
Lalu keduanya membuka "google" dan mengisi form pendaftaran pembuatan email. Saat pengisian tanggal lahir, tiba-tiba lelaki itu kaget,
"Lho, sampeyan kelahiran tahun ini, beneran?"
"Iya, kenapa?"
"Berarti tiga tahun di atasku, sampeyan seniorku berarti."
"Ah, masak sih?"
"Tapi gak papa kok, aku malah lebih nyaman dengan orang-orang yang usianya di atasku."
"Hah, maksudnya apa?"
"Boleh kita lebih dekat, Lan? Eh, apa aku panggil mbak saja ya," ada binar yang terpancar dari mata laki-laki itu. Ia melanjutkan,
"Sepertinya aku sangat nyaman bisa ngobrol dengan sampeyan."
"Hah, apa sih maksudnya? Panggil nama seperti biasanya saja. Kita sama-sama semester dua kok... Ah, sudah, sudah.  Lekas kita kirim tugasnya sebelum gerbang pondokku digembok nanti." Gadis itu salah tingkah dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sontak, lelaki dan teman gadis itu tertawa mendengar jawaban pengalihan dari pembahasan mereka yang seharusnya serius.

Mereka pun akhirnya berpisah setelah berhasil membuat email dan mengirim tugas.
"Sampai jumpa besok di kampus, ya Lan. Mbak Indah juga." Lelaki itu melambai pada kedua gadis itu.

Keduanya berjalan ke arah Pesantren tempat mereka tinggal. Di samping gerbang nampak seorang lelaki yang berdiri seakan menunggu seseorang.
"Assalamualaikum, Ning."
Lelaki itu menyapa dua gadis yang muncul dari ujung jalan. Keduanya menundukkan pandangan sambil terus berjalan.
"Waalaikumsalam, Kang."
Panggilan "Kang" biasa diberikan kepada santri putra atau mahasiswa yang tinggal di Pesantren.
"Ning Bulan, boleh kita bicara sebentar?"
"Ada apa ya, Kang?"
Teman gadis itu hendak melarikan diri karena merasa canggung. Namun tangan Bulan menggandeng erat tanda ia tak mau ditinggalkan sendiri.
"Boleh kan saya tanya-tanya tentang sesuatu pada Ning Bulan? Pemahaman saya tentang agama masih kurang, khususnya dalil naqli yang sudah Ning kuasai."
"Mm... Maaf ya, Kang. Lebih baik tanyakan saja pada abah atau teman laki-laki, saya ini perempuan dam belum bisa apa-apa."
"Tetapi, Ning ... ,"
"Maaf, Kang. Saya tidak suka seperti ini, dan tidak nyaman. Silahkan langsung ke abah atau yang lain saja. Maaf. Assalamualaikum."
Bulan menarik tangan temannya dan mereka berjalan cepat meninggalkan laki-laki yang masih berdiri di belakangnya, memandangi keduanya sambil tersenyum simpul.



@to be continue@










14 komentar:

  1. wih si bambang pdkt nya mantap juga

    BalasHapus
  2. Kalau dilihat bahasanya, sepertinya setting lokasi di jawa timur ya mbak. Semangattt...

    BalasHapus
  3. Oh gitu ya gayanya kalau anak pesantren PDKT, didalam satuan terpisah tapi diluar cinta merekah he he he

    BalasHapus
  4. Bunga2 bersemi nih ye.Eh tapi kata sepupu yang mondok kalau ketahuan curi pandang dengan lawan jenis bakal digunduli

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini pondok mahasiswa, jd agak longgar peraturannya 😁

      Hapus

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....