Senin, 16 September 2019

Gema

Aku, kamu, kita

Langit begitu mendung. Nampak arak-arakan awan hitam yang mulai menggulung. Dua orang muda mudi nampak berdiri di samping bangunan tua yang terletak di sudut kampus. Sekelilingnya banyak tumbuh pohon akasia yang menjulang dan menghalangi sinar mentari. Gedung itu disebut "Gema" atau gedung mahasiswa yang sudah tua bangunannya namun masih kokoh dan sesekali masih difungsikan pada event tertentu.

 Senja kala itu nampak senyap di sekitar gedung, tidak ada lagi mahasiswa yang lalu lalang, hanya dua orang yang berdiri berhadapan dengan raut muka serius dan saling memandang, nanar.

"Pagi ini, aku sudah mendengar semuanya dari mbak Indah. Apa benar begitu? Kenapa bisa seperti ini, kenapa? Apa yang salah denganku?" Suara lelaki itu nampak berat dan matanya berkaca-kaca.

"Maafkan aku, cak Bin. Kita tidak bisa  lagi melanjutkan hubungan ini", gadis muda itu menatap sedih lelaki dihadapannya sambil memegang erat tali tas selempang yang dibawanya. Sesekali ia melempar pandangan ke arah lain, seakan berusaha menyembunyikan gejolak batinnya.

"Kenapa? Kenapa kamu bohong? Kenapa kamu berkhianat atas janji kita?" Lelaki itu tak kuasa menahan kesedihannya. Ia mengusap air mata dan meninggikan suaranya,
"Bukankah kita telah berjanji untuk saling menjaga sampai pernikahan nanti?". Ia terdiam beberapa saat,
"Ibuku telah memberi restu, keluargaku telah menerimamu. Kenapa kamu yang mengingkari janji kita? Kenapa?"

Wanita dihadapannya tak mampu lagi membendung air mata yang tumpah ruah membasahi jilbab putihnya,
"Maafkan aku, Cak ... Aku hanya mengikuti keinginan orangtua. Aku tidak mengkhianatimu, aku masih sayang padamu, dan aku masih sama seperti dulu. Tetapi mau bagaimana lagi."
Ia terisak,
"Mohon maafkan aku, maafkan..."

Langit seakan mengerti pilu hati keduanya. Ia menumpahkan air dari langit hingga menyamarkan airmata keduanya. Hening ...

"Kamu tega, Lan. Kamu telah berdusta padaku. Kamu mengingkari janji kita. Ingat saja apa nanti karma yang akan kau dapat." Suara parau lelaki itu menggema bersamaan dengan suara petir yang menyambar.

"Sungguh maafkan aku. Aku bisa apa? Aku ini perempuan! Aku tidak mungkin menolak! Apa perlu aku memberontak pada orang tuaku? .. Atau mungkin  ... aku mati saja." Suara parau gadis itu ditengah isak tangisnya yang semakin pecah. Nampak berulang kali ia mengusap matanya dengan jilbab yang telah basah oleh hujan. Menggigil ... Senyap, hanya hujan yang semakin deras.

"Hentikan. Jangan bicara sembarangan." Kaki lelaki itu maju beberapa langkah, terdiam. Seakan ia hendak menggerakkan tangannya, namun diurungkan. Hanya menatap.

"Makanya maafkan aku. Mohon ikhlaskan kepergianku. Aku berdoa semoga engkau mendapat pengganti yang lebih baik," Suara gadis itu mengiba.

"Terserah apa katamu, Lan. Aku sangat kecewa, dan kamu telah mengkhianatiku."

Lelaki itu berpaling meninggalkan sang gadis yang hanya bisa memandangi punggungnya, samar diantara kilatan halilintar. Ia hanya mampu menangisi jejaknya yang terhapus oleh hujan. Dan bayangan keduanya disamarkan oleh senja yang mulai memanggil malam.


Bulan, nama gadis itu. Ia sakit parah setelah pertengkaran di samping Gema. Ia merasa telah menyakiti hati lelaki yang pernah singgah di hatinya. Dilain sisi, ada nilai mata kuliah yang bermasalah hingga harus berhadapan dengan dosen pengampunya yang killer. 
Dalam keputusasaan yang mendalam, tiba-tiba terdengar bunyi sms yang masuk ke gawainya, ia memandang layar yang bertuliskan nama "Bintang".

"Mbak, maafkan aku. Aku memang keras kepala. Sampean patuh pada orang tua itu yang benar. Lekas sembuh ... Nanti kubantu mengurus nilai saat sudah balik ke kampus."

Singkat padat bunyi sms yang tertera. Namun, ada binar kebahagiaan di mata gadis itu yang tak  mampu dijelaskan. Ia tersenyum sambil mengusap air matanya ....

@to be continue@



5 komentar:

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....