Sabtu, 02 November 2019

Rel Berdarah (end)

Zahra.

Pagi ini kota Pahlawan menangis. Tangisnya merintik namun lama. Kami berlarian kecil dengan menggunakan tas sebagai payung. Masuk ke dalam kelas dengan meninggalkan tanda kaki di lantai. Untung, dosen tidak masuk kali ini. Aku telat karena macet.

"Ra, kamu kenal mas Ikbal? Katanya dia alumni Kebonsari, pondokmu dulu." Zi menggeser kursinya mendekatiku.
"Mm ... Ikbal ya? Sepertinya pernah denger. Kenapa?"
"Dia sering main ke rumahku. Kelihatannya dekat dengan kakakku, mereka satu angkatan kuliahnya dulu. Menurutmu orangnya bagaimana, Ra?"
"Bagaimana ya ... Aku jarang memperhatikan kang-kang pondok, hanya sebatas tahu nama."
"Ah ... Kamu tu, Ra." Zi memukul pundakku,
"Eh, bagaimana perjodohanmu? Kenalin padaku, Ra."
"Belum kok. Baru nanti malam. Eh, sepertinya jam kosong. Sudah ya, aku mau ke perpustakaan. Da ..."

Zahra pergi meninggalkan Zi. Hatinya tidak karuan. Bagaimana mungkin! lelaki yang hendak dijodohkan dengannya itu ternyata pacar dari kakak sahabatnya. Bagaimana  kalau Zi tahu? Bagaimana nanti persahabatannya? Haruskah perjodohan ini dibatalkan, tapi bagaimana caranya? Perlukah jujur pada Zi? Atau Ulil?

Gawai Zahra berdering.
"Assalamualaikum, dimana Ra? Kutunggu di belakang kantin dari tadi lho." Suara Ulil diseberang.
"Waalaikumsalam. Oh maaf, Lil. Aku di perpustakaan. Nanti kutelepon balik." Tak terasa air mata mengalir deras di pipinya.

Akhirnya selesai juga perkuliahan siang ini. Tidak seperti biasanya, seakan waktu berjalan melambat dan membuat pikiran semakin tak karuan. Ketika dosen selesai membagi tugas, lekas-lekas aku berpamitan pada teman kelas dan meluncur ke parkiran. Tak lupa kutelepon Ulil untuk mengatakan kapan-kapan saja kita ketemunya.  Dan aku berbohong padanya dengan mengatakan bahwa aku sangat bahagia hari ini dan harus lekas pulang untuk mempersiapkan acara nanti malam.

Dasar sifat Ulil yang suka menggoda, dia mencandai dengan mengatakan nitip salam sayang untuk calonku. Kami pun saling meledek dan tertawa di telepon. Antara bahagia dan sedih. Perasaan yang berkecamuk ini tidak bisa kuungkapkan padanya. Aku bahagia mendengar suaranya. Aku bahagia mendengar tawanya. Aku bahagia mendengar ledeknya. Dan aku sangat bahagia bisa dekat dengannya. Namun, aku harus melepasnya segera. Melepas semua rasa padanya. Aku pun berpamitan padanya.

Kebahagian yang terbungkus oleh kesedihan ini menutup jiwa sadarku. Sepeda motor kuhentikan sejenak, karena kurasa jalanan lenggang. Dan kuambil gawai yang menempel di telinga, lalu kumasukkan dalam ransel.

Sayup-sayup kudengar suara teriakan. Ya, teriakan banyak orang. Kutolehkan kepala ... "TTRRREEEEEEEEEEEERRRRERRRTH ..."
silau lampu dan pekik suaranya sangat kuingat. Aku sadar dan bisa saja kutinggalkan motorku. Namun, kumemilih untuk diam, gelap dan senyap ....

~End~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....