Jumat, 01 November 2019

Rel Berdarah (4)

Zi.

Kota Pahlawan seakan terbakar. Panas menyengat hingga ke ubun-ubun. Angin berhembus malu-malu. Hingga berulang kali, aku menyeka peluh dengan lengan baju. Jilbab yang kukenakan rasanya telah basah, apalagi punggungku.

Aku dan ulil memutuskan untuk kembali menemui orang tua Zahra. Berharap mereka membukakan pintu maaf untuk kami.
"Assalamualaikum ... " Ulil mengetuk pintu. Aku sengaja berdiri agak jauh di belakangnya, takut ayah Zahra berteriak seperti kemarin.
"Waalaikumsalam, oh kalian. Mari masuk." Perempuan paruh baya itu mempersilahkan kami. Bersyukur bukan ayahnya yang menyambut. Pikirku.
"Begini, Bu. Kedatangan kami kesini, pertama untuk bersilaturrahim," Aku mencoba mencairkan suasana,
"Kedua, kami sebagai teman Zahra, ikut berbela sungkawa dan kami mohon maaf atas semuanya. Zahra bagi kami adalah teman yang sangat baik."
"Sudah tidak apa-apa. Kita ikhlaskan.  Namanya juga takdir. Kita tidak bisa mengelak." Nampak mata beliau berkaca-kaca.
"Mohon sampaikan permohonan maaf kami pada ayah Zahra juga ya, Bu." Ulil memberanikan diri bersuara.
"Iya, nanti saya sampaikan. Alhamdulillah ayah sudah beraktivitas seperti biasa, mulai mengajar lagi."

Kami pun bercerita banyak tentang kebersamaan kami dengan Zahra. Sambil sesekali menyeka air mata mengingat kenangan-kenangan itu. Lalu terdengar sepeda motor Vario memasuki halaman.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Ayah. Ini teman-teman Zahra ..."
Beliau pergi begitu saja meninggalkan kami yang berdiri hendak bersalaman. Ibu memberi isyarat pada kami untuk duduk kembali. Sedangkan beliau menyusul suaminya ke belakang. Aku dan Ulil saling berpandangan dan berbisik "ayo cepet pulang."

Ibu Zahra kembali dengan membawa buku di tangannya.
"Ini milik Zahra. Ibu merapikan kamarnya dan menemukan buku ini di bawah bantalnya. Mungkin kalian ingin membacanya juga karena sebagian besar bercerita tentang kalian. Dan juga, Ayah Zahra tidak marah pada kalian. Hanya saja beliau sangat menyesal. Sehingga kalau lihat kalian, jadi ingat Zahra."
Kami mengangguk paham. Dan buku binder itu, aku menerimanya. Lalu, kami pun memohon izin untuk undur diri.

*****
Sampai di pelataran mesjid kampus. Kami memutuskan untuk duduk di serambi sebelah barat. Selain sejuk, serambi barat jarang dipakai mahasiswa, kecuali untuk sekedar merebahkan diri. Kami membuka isi binder, nampak beberapa foto kami dan puisi-puisi Zahra. Ada pula kisah pertemanan kami dulu saat Orientasi Mahasiswa Baru. Di penghujung tulisannya ...

*****

Kantin. 
Ulil kamu jahat, kenapa malah mendoakan aku berjodoh dengan pilihan ortuku? Kamu gak tau perasaanku. 

*****
Giant. 
Aku senang sekali bisa makan es cone sama Zi. Zi adalah sahabatku yang paling mengerti. Tidak seperti Ulil yang cuek dan kadang kasar omongannya. Meski ngangeni siih . Eh, di malam itu juga aku melihat sosoknya di Giant bersama perempuan. Mungkin teman sekelasnya? Entahlah. Mereka hanya berdua. 

***** 
Kelas. 
Langit nampak cerah. Tapi hatiku gelap. Pada siapa aku hendak bercerita? Ibu. Tidak. Aku tidak mungkin mengecewakan mereka. Aku harus kuat, seperti langit yang selalu indah. Dia memang kakak kelasku di Pondok dulu. Tapi dia laki-laki! Kenapa tidak menolak kalau memang punya pilihan?

*****
Malam Penentuan 
Malam besok ini keluargaku dan keluarganya bertemu untuk yang kedua kalinya untuk menetapkan hari. Aku tak suka. Aku melihatnya merangkul perempuan lain di tempat umum. Tapi bisa apa aku? Orangtuaku terlanjur menyukainya karena Ayahnya adalah sahabat dekat ayahku. Aku harus bagaimana? Cerita pada Zi? Ulil? 
Besok saja kukatakan pada Ulil saat bertemu. Dia kemarin bilang mau ngomong sesuatu. Bahagia rasanya, tapi juga sedih. 

*****
Gerimis. 

Pagi ini seakan langit mengerti perasaanku. Merintik dengan tangisan pilu. Membuat lisanku kelu saat sahabatku bercerita bahwa pacar kakaknya adalah seseorang yang juga kukenal. Sosok yang hendak dijodohkan denganku. Tapi Zi tak tau. Dan tak mungkin kuberi tau. 

***** 
Aku sesenggukan membacanya. Ulil bebarapa kali mengusap matanya dengan lengan baju. Karena tidak ingin membuat mereka yang lewat penasaran, kami pun memutuskan untuk berpisah. Aku berlari ke arah kamar mandi yang ada di serambi utara.

Mendongakkan kepala pada tiang yang disusun mirip bangunan kelenteng, di atas jalanan yang menghubungkan bangunan mesjid dengan kamar mandi,  berharap airmata ini berhenti. Dan buku binder itu masih kudekap erat dibalik jilbab yang melambai tertiup angin.

#Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....