Kamis, 31 Oktober 2019

Rel Berdarah (3)

Ulil.

Ulil dipanggil ke kantor polisi untuk diminta keterangan tentang kecelakaan Zahra. Siangnya ia masuk kuliah dengan wajah dilipat.
"Hai Lil, bagaimana tadi?" Tanyaku padanya.
"Tidak apa-apa, hanya ditanyai sebentar."
Aku tau ia bohong, karena hampir satu jam dia berada di kantor polisi.
"Nanti sore, ayo ikut aku ke rumah Zahra." Ulil menatapku seakan memohon.
"Oke." Kami pun berpisah di lorong kampus.

Sore itu kami memberanikan diri berkunjung ke rumah Zahra.
"Untuk apa kalian kesini! Pergi ..."
"Assalamualaikum, Bapak. Kami ...,"
"Silahkan pergi!"
"Tetapi kami .... "
BRAK ... Suara pintu yang ditutup keras itu seketika mengkerdilkan nyali kami. Aku ingin menangis saat itu, namun kulihat wajah Ulil lebih menyedihkan lagi. Pintu itu dibanting tepat di depannya. Kami pun memutuskan melangkah pergi dalam diam.

"Maaf Zi. Kamu jadi kena marahnya juga."
"Ah, tidak apa-apa, Lil. Besok kita coba lagi. Siapa tahu ibunya mau menemui kita." Hiburku di perjalanan pulang.
Orang tua Zahra merasa bahwa Ulil-lah penyebab kecelakaan anaknya hingga mereka tidak sudi melihatnya datang ke rumah.

*****

"Lil, aku mau dikenalkan seseorang." Kata Zahra saat kami istirahat di kantin.
"Oh ya? Pilihan orang tuamu?"
"He'em." Jawabnya sambil menyeruput es jeruk.
"Ya ikuti saja. Siapa tahu berjodoh."
"Ih. Kok kamu bilangnya begitu sih."
"Lho, apa aku salah? Katanya ridho Allah itu terletak pada ridhonya orang tua. Bener gak?" Ia malah menggoda.
"Iya. Bener emang." Zahra bersungut.
Aku hanya tertawa mendengar pembicaraan mereka. Mereka saling suka namun tidak pernah menampakkan apa yang dirasa. Kami pun terdiam sambil menikmati makan siang dengan pikiran masing-masing.

Selama perkuliahan, kulihat Zahra sibuk menulis di buku binder. Entah apa yang sedang ia tuangkan dalam buku itu. Berulang kali ia menatap langit dari balik jendela kelas, lalu kembali menulis sesuatu. Bel tanda berakhirnya perkuliahan pun berdering. Mahasiswa berhamburan keluar kelas.
"Sampai ketemu besok ya, Zi."
"Ok. Hati-hati." Kami pun bersalaman ala mahasiswa dan saling berpelukan sebelum ia menghilang dalam kerumunan.

Aku bertemu Ulil. Dia nampak mencari sesuatu.
"Dia sudah pulang."
"Eh, enggak kok."
Kami pun tertawa sambil menyusuri gang kecil di belakang kampus. Tempat tinggal kami memang saearah, hanya beda gang saja.
"Lil, kalau suka itu ya bilang suka," aku mendahuluinya,
"Tidak mungkin perempuan bilang dulu kan? Lagian Zahra juga suka kamu kok. Lekas bilang padanya, setelah itu putuskan berdua kapan siap menghadap orangtuanya."
"Iya, iya. Kamu kayak orangtua saja."
"Loh, kalian itu adik-adikku. Usiaku lebih tua dari kalian berdua," ia hanya tersenyum.
"Abahnya Zahra itu keras. Jadi cepat buat keputusan sebelum janur kuning melengkung."
Tanpa menimpali, ia mendahului langkahku dan memukulkan tas selempangnya ke punggungku sebelum akhirnya menghilang ke arah gangnya.
"Aku duluan. Besok pasti kukatakan."

Aku menghentikan sejenak langkahku ....

#Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....