Senin, 30 Desember 2019

Awas, NINJA!

"Ninja ... Ninja!" Suara orang-orang berteriak sambil memukul kentongan bambu. Para lelaki berhambur keluar rumah sambil membawa alat seadanya. Perempuan dan anak-anak yang terbangun diberi isyarat untuk tetap berada di dalam, hanya melihat dari balik tirai jendela.

Ada yang membawa sapu, sulak, tongkat, potongan kayu, potongan bambu, dan ada pula yang membawa parang. Sambil menengadah memperhatikan sekelebat bayangan hitam yang nampak terbang di atas atap rumah penduduk, persis seperti ninja, tetapi yang pasti bukan Hatori.

Akhir-akhir ini kampung kami digoncang dengan hilangnya seorang ustadz yang biasa memimpin di mushalla.  Dan adanya beberapa penampakan manusia berpakaian serba hitam yang berlari sangat cepat seperti terbang melompat diantara atap rumah warga, hampir setiap malam. Kami pun bersepakat untuk mengadakan ronda keliling kampung bergantian sampai matahari mulai muncul. Karena justru waktu mendekati subuh itu adalah waktu yang paling rawan.

Pagi itu orang-orang ramai karena mendapati dinding luar rumah sang ustadz terdapat tanda silang berwarna merah. Ustadz yang mengetahui hal itu hanya tersenyum simpul. Kami pun bersepakat memberi tanda silang pada semua rumah setelah menduga-duga apa arti coretan pilox merah itu. Dan tidak terjadi apa-apa.  Namun, setelah kami hampir lupa dengan coretan tersebut, tiba-tiba saja sang ustadz telah hilang dari rumahnya.

Beliau menjadi panutan di kampung kami. Setiap malam Jumat selalu mengadakan tahlil di Mushalla. Dan tak lupa beliau berpesan pada kami yang muda untuk rajin membaca dan belajar agar kelak dapat berjuang untuk negeri ini yang menurut beliau, masih belum merdeka. Ustadz itu tinggal seorang diri setelah tahun lalu istrinya meninggal karena sakit dan tanpa anak.  Perginya beliau yang tiba-tiba, kami asumsikan mungkin untuk mencari ketenangan dengan bersilaturrahmi pada keluarganya di lain kampung.

Beberapa hari telah berlalu, dan sang ustadz belum juga kembali. Kami mulai berpikir macam-macam, apalagi setelah beberapa orang mengatakan bahwa kami harus berhati-hati dalam berbicara dan bertindak.  Konon kabar yang beredar, para pemuka agama di kampung lain pun sama, tidak diketahui rimbanya. Malam semakin mencekam.

"Bu, aku mau ke rumah Mbah Zen dalam tiga hari. Hati-hati dan bersikaplah seperti biasa. Jangan lupa sehabis shalat tetap baca Al-Fiil sebanyak-banyaknya." Ujar Bapak saat mau pergi ke rumah gurunya untuk isian atau wiridan. Hampir semua laki-laki di kampung kami memilih mempelajari ilmu kanuragan dengan dzikir dan puasa. Selain untuk penjagaan diri, berguna pula untuk mageri.

Aku yang sudah delapan tahun, sudah sangat paham situasi ini. Sangat menakutkan saat malam mulai datang.  Sebelum maghrib, semua pintu telah dikunci. Kami biasa shalat berjamaah. Bedanya sekarang, sehabis sholat, kami dianjurkan oleh bapak untuk membaca surat Al-Fiil sebanyak-banyaknya. Biasanya sampai 41 kali, atau cukup pilih bilangan ganjil.

Dan ketika sampai pada kalimat "Tarmiihim" pada ayat keempat, kami semua mengepalkan tangan sambil membuat gerakan yang seakan sedang melempar sesuatu. Kata bapak, hal ini diniatkan untuk mengusir orang-orang yang akan berbuat jahat pada kita. Sebagaimana burung Ababil yang melempari pasukan bergajah Abrahah.


~*~

NB. Kisah ini mengambil latar dari novel "Laut Bercerita" karya Leila s. Chudori. Dimana beliau menceritakan tentang sekelompok aktivis yang sengaja "dihilangkan paksa" saat berjuang menegakkan demokrasi pada rezim Suharto di tahun 1998.
Bergerak tanpa suara, ada namun tak ada. 

1 komentar:

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....