Minggu, 06 Oktober 2019

Dyah Pitaloka II

Tantangan 4(end).

Putri Dyah Pitaloka yang sebelumnya berada dalam kancah peperangan di Pesanggrahan Bubat, kini berada di tengah kerumunan manusia di negeri antah berantah. Seolah ia terlempar ratusan mil ke zaman yang tidak dikenalnya, sangat berbeda dengan tempat asalnya dahulu. 
Baca ini dulu ya kawan ...
https://lilisodop7.blogspot.com/2019/10/tantangan-4.html

Pepohonan yang rindang berganti dengan bangunan yang seakan menyentuh nirwana. Air yang biasa mengalir, kini dimasukkan dalam wadah kecil yang tertutup rapat. Belum lagi pakaian yang sama sekali tidak ia mengerti harus menempel pada tubuhnya.  Dan terlebih mereka semua berteriak sambil mengangkat benda yang sama seperti yang ada ditangannya. Benda yang mirip dengan kain lambang kerajaannya, namun sangat kecil dan ringan.

Dalam kebimbangan yang memuncak, datanglah seorang lelaki yang menepuk bahunya,
"Hai, kucari-cari dari tadi ternyata kamu di sini. Ayo tinggalkan barisan dulu, kita sudah ada janji dengan profesor Roem di Perpustakaan Nasional."
"Patih Mada? Maha Patih Gajah Mada?"
"Apa? Maha Patih Gajah Mada? Hahaa ... Kamu ini kenapa? Kebanyakan baca buku sejarah tadi malam ya." Ia menyeret tangan putri Dyah menyeruak keluar dari barisan para pendemo.

"Patih ... Hamba Dyah Pitaloka .. " belum selesai Sang Putri berbicara,
"Iya. Aku tahu kamu Dyah Pitaloka. Dan aku Made, bukan Mada. Ingat ya. " ia tertawa terbahak merasa temannya telah hilang ingatan karena panasnya sengatan matahari siang itu.

Keduanya telah berada di depan gedung yang sangat tinggi. Putri tercengang melihat bangunan itu. Di zamannya, bangunan tertinggi adalah tempat ia memuja para dewa, bangunan tempat tinggalnya pun tidak terlalu tinggi. Dengan berat hati, ia terpaksa mengikuti langkah lelaki di depannya, yang wajahnya mirip Maha Patih Gajah Mada, namun ia tidak mengakuinya.

"Ayo naik. Kita bertemu profesor di lantai sembilan, Layanan Naskah Nusantara." Ia menggandeng tangan putri Dyah dan masuk ke dalam sebuah kotak yang seakan berjalan membawa mereka ke suatu zaman yang berbeda lagi.

Di lantai sembilan, Profesor yang disebut lelaki itu sudah menunggu mereka. Putri sangat heran melihat semua benda yang di depannya. Ia dapat membaca seluruh tulisan yang tersebar di dinding yang ditulis dengan aksaranya. Belum lagi ada beberapa tulisan yang dikurung dalam sebuah benda bening.

 Ia menghampiri jejeran benda kotak yang tertulis banyak sekali nama, diantaranya "Babad Tanah Jawa", "Serat Pararaton", "Kidung Sunda", "Kidung Sundayana" dan masih banyak lagi. Putri membuka lembar demi lembarnya, membaca huruf-hurufnya dengan seksama, dari yang paling atas sampai yang paling bawah. Semua yang ada di dalam ruangan ia baca dengan cepat, lalu ... Ia meneteskan air mata.

Bukankah semua yang tertulis disini ini adalah kehidupannya di zaman itu? Kerajaannnya, keluarganya, bahkan titi mangsanya menunjukkan tahun Saka.  Kenapa semua tertulis dalam benda ini? Kenapa? Dan rasa ini ... Sepertinya ia pernah merasakannya, kapan? Dimana? Siapa aku ini? Siapa?...

Dan bumi pun berputar sangat cepat. Ruangan itu seolah ikut terseret dalam gelombangnya, termasuk Sang Putri. Gelap ... Lalu kembali terang. Saat Putri Dyah Pitaloka berusaha menyadarkan dirinya, ia telah kembali pada zamannya. Bukan saat peperangan dengan Gajah Mada, namun saat ia keluar dari peraduannya dan hendak menemui ayahandanya.

Putri yang berdiri tidak jauh dari raja Pajajaran, terdiam di tempatnya. Sampai suara raja mengembalikan kesadarannya.
"Ada apakah gerangan Ananda  Putri ingin bertemu Ayahanda secepatnya?"
Ia pun tersenyum untuk menutupi semuanya,
"Benerkah putri hendak dipinang Maharaja Majapahit, Ayahanda?" Dan Putri merasa perkataannya itu pernah ia ucapkan sebelumnya.
"Benar, Ananda. Patih Madhu dari Majapahit sendiri yang mengabarkan kepada kita." Ia pun melihat Patih Madhu menganggukkan kepala dan tersenyum padanya, persis seperti kejadian waktu itu.

Sebelum berangkat lawatan ke Majapahit, Putri Dyah menitipkan beberapa lembar tulisannya pada emban yang tinggal di Kerajaan. Ia berpesan supaya tulisannya itu diberikan kepada adiknya, saat ia dilantik menjadi raja. Dan rombongan pun berangkat dengan sukacita. Serrrrr ... Kejadian demi kejadian putri telah melaluinya sampai tiba ia berteriak pada Maha Patih Gajah Mada,
"Untuk apakah semua pengorbanan ini? Jikalau itu untuk hamba seorang, sudilah hamba menukar raga ini demi kerajaan. Namun, jika semua ini hanya demi hasrat Ayahanda belaka, ananda dari awal akan menolak pinangan ini."
Belum sempat Patih Gajah Mada menenangkan kerisauan Sang Putri, tiba-tiba dari arah belakang, tombak salah satu prajurit Bhayangkara menembus dada Sang Putri, hingga darah segar pun muncrat dari mulutnya. Gajah Mada sangat kaget karena ia tidak bermaksud membunuh calon istri Maharajanya.

Pada hembusan nafas terakhirnya,  Putri Dyah tersenyum dan berucap lirih, "Takdir sejarah memang tidak dapat dirubah." Dan ia pun menutup mata dalam damai dan dianggap sebagai tindakan "Bela Pati".

Kabar kematian seluruh rombongan Raja LinggaBuana sampai ke tanah Sunda. Kemarahan dan kesedihan yang memuncak mengantarkan mereka harus segera mengangkat raja baru. Dan itu adalah Pangeran Niskalawestu Kancana, yang tidak lain adalah adik Putri Dyah Pitaloka yang sekaligus keluarga kerajaan satu-satunya yang selamat karena tidak ikut dalam rombongan.

Sesuai pesan dari Sang Putri, Simbok emban yang biasa mengurus keperluan Putri Dyah selama hidupnya, menyerahkan beberapa keping tulisan di daun lontar. Pangeran sangat kaget membaca isinya, dan ia pun menangis tersedu. Setelah dapat menguasai dirinya, ia bertitah pada semua  rakyatnya,
"Putri telah mengetahui bahwa nirwana akan segera memanggilnya. Dan ia menulis bahwa semua yang terjadi adalah suratan takdir dari Dewata. Pajajaran dan Majapahit sesungguhnya masih ada hubungan darah. Karena nenek moyang kita, Raden Wijaya adalah putra dari Ibunda Dyah Lembu Tal yang merupakan keturunan  Ken Arok yang diboyong ke tanah Jawa. Kematian kakanda, mampu menyelamatkan pernikahan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Karena kita saudara, sedarah."

Semua yang mendengarnya tidak percaya dam saling berbisik, dari manakah Sang Putri mengetahui itu semua? Kemudian datanglah satu utusan dari Majapahit yang menyampaikan permintaan maaf Maharaja Hayam Wuruk atas apa yang telah terjadi. Dan sebagai hukuman atas perbuatan pasukan Bhayangkara, Patih Gajah Mada diasingkan pada suatu daerah bernama Madakaripura.  Tindakan memaafkan dan kembali menjalin hubungan baik itu, menjadikan nama Ayahanda mereka mendapat julukan "Prabu-Wangi/Sili-Wangi) yang artinya "Memiliki sikap yang terpuji/baik".

Hubungan Pajajaran-Majapahit pun kembali seperti semula. Titah Maharaja Niskalawestu yang melarang mencari istri dari luar kerajaan atau dikenal dengan "Estri ti luaran" itu dimaksudkan supaya para pemuda dan pemudi tidak asal menjadikan orang luar (yang belum diketahui perangainya) sebagai pasangan hidupnya. Karena hidup hanya sekali, menikah pun juga sekali seumur hidup.
💖💖💖💖💖💖

(Kehidupan Zaman Now)

Pada lantai sembilan yang merupakan layanan naskah Nusantara, Dyah tersadar telah membuka beberapa manuskrip tentang Tanah Jawa dan Sunda. Ia sangat heran kenapa dirinya membuka itu semua padahal tidak paham apa yang tertulis di dalamnya, hanya saja ia menyadari bahwa air matanya mengalir hangat di pipinya.

"Asik banget kelihatannya. Lagi dapat tugas sejarah ya?" Suara Made mengagetkan. Ia mengambil duduk di sebelah Dyah,
"Apa cerita yang tertulis pada manuskrip ini?"
"Aku tidak tahu pasti, tetapi isinya menceritakan tentang dua kerajaan yang sempat berseteru."
"Wah, hebat kamu. Tidak bisa baca tulisannya, tetapi bisa tahu isinya."
"Entahlah, seakan aku hanya tahu saja." Dyah berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi,
"Sebetulnya, kenapa kita disini?" Ia nampak bingung.
"Hahaha ... Amnesia parah kamu, Dyah. Sudah ayo kita kembali pada barisan. Anak-anak menunggu kita di bawah." Made menarik tangan Dyah sambil menganggukkan kepala, isyarat pamit undur diri pada professor Roem...
Sejarah mungkin tidak dapat dirubah, namun selalu dapat memberi ibrah atau pelajaran bagi generasi sesudahnya. 


*TAMAT*

Kisah ini tentu sudah dirubah oleh penulis. Dan untuk memulai kalimat pertamanya, butuh keberanian yang tiada terkira. 😊🙏



4 komentar:

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....