Sabtu, 05 Oktober 2019

Tantangan 4

Dyah Pitaloka

Begitulah nama indah pemberian ibunya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kadang pula orang memanggil namanya dengan Citra Rasmi, seorang yang diharapkan mampu memberi kejayaan pada kerajaannya, Pajajaran. Keelokan parasnya tersebar sampai pada kerajaan Majapahit, hingga sang Raja pun ingin mempersuntingnya.
Putri Dyah Pitaloka 

Kerajaan Sunda asal ia dilahirkan, tidaklah terlalu besar, namun rakyatnya hidup dalam damai dan berkecukupan. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa Maharaja dari kerajaan seberang hendak meminang istri dari kerajaan ini. Putri dari kerajaan Pajajaran. Antara percaya dan tidak mendengar berita itu, sang Putri pun memberanikan diri untuk bertanya kepada ayahandanya, Prabu Maharaja Lingga Buana.

"Ayahanda, benarkah hamba hendak dipersunting maharaja dari Majapahit?"
"Benar, Ananda. Patih Madhu telah menyampaikan kabar bahagia ini pada kita."
Patih Madhu, seorang mahapatih kepercayaan kerajaan Pajajaran yang selalu setia menemani raja dalam segala urusan. Ia berdiri tidak jauh dari singgasana raja dan nampak menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada sang putri.

Mereka pun berbenah dan mengadakan lawatan ke kerajaan Majapahit dengan sukacita.  Arak-arakan yang dipimpin langsung oleh Raja Lingga Buana yang hendak mengantarkan putri kesayangannya menerima pinangan raja Majapahit, Hayam Wuruk.
Maharaja Majapahit, Hayam Wuruk. 

Dalam peristirahatan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan, putri Dyah Pitaloka tidak sengaja mendengar percakapan para pengawal yang hendak mengambil air dari sungai.

"Maharaja menginginkan putrinya menikah dengan Majapahit supaya membuka jalan kita untuk kesana nantinya."
"Kesana bagaimana?"
"Ya nanti kita bakalan merebut kerajaan itu."
"Hus! Jangan bicara sembarangan kamu, bisa-bisa kepalamu melayang."
"Benar ini. Aku sempat mendengar langsung dari patih yang bekerja sebagai abdi ndalem." 
"Ah sudah-sudah, jangan bicara lagi soal ini. Tugas kita sekarang mengantar putri dengan selamat."
"Iya, iya, Sang Yang Widi yang menentukan nasibnya kelak."

Mereka tidak tahu kalau sang Putri yang sedang keluar dari tandunya untuk mencari angin segar, ternyata mendengar percakapan mereka dari balik pepohonan.

Dalam perjalanan, sang Putri terus memikirkan apa yang telah didengarnya. Benarkah semua itu? Bukankah kejam sekali jika terjadi perang antara anak dan orangtua? Apalagi sekarang raja Majapahit hendak menjadi suaminya. Bagaimana kehidupannya kelak? Tegakah ayahanda mencelakakan dirinya? Ah, tidak mungkin.

Tetapi, sejak awal putri Dyah sudah merasa janggal, kenapa ayahandanya langsung menerima pinangan itu tanpa bertanya dahulu pada dirinya. Bukankah Ayahanda selalu meminta pendapatnya jika ada seorang yang hendak melamarnya sebelum ini? .. Lamunan sang Putri tiba-tiba dibuyarkan oleh derap kuda yang mengepung arak-arakan rombongan mereka. Sang Putri hanya mengintip dari balik tirai tandunya.

Karena kaget dan merasa terancam, para pengawal langsung mengacungkan tombak dan pedang kepada meraka. Raja Lingga Buana dengan cekatan meminta agar semua tenang dan menayakan siapakah mereka.

"Siapakah Kisanak ini? Dan hendak perlu apa dengan kami?"

"Hamba adalah Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Keperluan hamba menyampaikan titah Maharaja untuk menerima pinangan ini sebagai tanda ketulusan kerajaan Pajajaran yang bersedia tunduk dibawah pengawasan Majapahit."

"Hai, apa! Tunduk pada Majapahit? Tidak mungkin! Alangkah beraninya Hayam Wuruk meremehkan pernikahan ini. Kita tidak bisa terima!"

"Hamba hanya menyampaikan titah raja."

"Tidak bisa! Katakan padanya, kami menerima pinangan ini karena dia sendiri yang meminta."

"Maafkan hamba. Titah raja tidak dapat ditolak."

"Kurangajar kau Patih! Pajajaran tidak akan tunduk pada siapapun!" Raja Lingga Buana sangat marah dan merasa dihina di depan putri dan rakyatnya.

Akhirnya, peperangan pun tak terelakkan lagi. Tanah Bubat yang tadinya subur, berubah menjadi merah darah karena peperangan kedua belah pihak yang saling mempertahankan egonya masing-masing.

Sang Putri  berusaha meredam kemarahan ayahnya agar menghentikan peperangan, namun tidak ada yang mendengarnya. Peperangan berlangsung sengit hingga menewaskan Maharaja Pajajaran dan semua pasukannya, kecuali sang Putri.

Dengan kesedihan yang memuncak melihat semua itu, sang Putri memilih untuk menemui Patih Gajah Mada memohon ampunan, dan mengatakan,
"Untuk siapa sebenarnya semua pengorbanan ini?" Ia terisak memeluk jasad ayahnya yang bersimbah darah.

"Kalaupun hanya untuk hamba seorang, bersedialah hamba untuk menukar raga hamba demi Pajajaran. Tetapi semua kini telah sia-sia. Ayahanda ... Jika semua ini untuk hasratmu belaka, ananda tidak akan pernah mau menyetujuinya sejak awal. Oh,  Ayahanda .... "

Jeritan pilu sang Putri seakan menyentuh takdir. Awan bergerak cepat,  bergulung dan menghitam. Tanah dan langit  menyatu dan berputar dalam pusaran angin kehidupan, membawa seluruh zaman ke negeri antah berantah. Gelap, lalu kembali terang.

Putri Dyah Pitaloka yang berteriak menangisi jasad seluruh rombongannya, tiba-tiba berdiri diantara kerumunan orang-orang yang tidak dikenalnya. Pada kehidupan yang sama sekali tidak diketahuinya. Dengan bahasa yang hampir sama namun jelas sekali berbeda. Siapakah meraka? Mengapa aku berpakaian seperti ini? Dimana ini? Apa yang sedang aku lakukan? Dimana Ayahanda dan para prajurit? Dimana Mahapatih Gajah Mada?

Dengan semua ketidaktahuannya di negeri antah berantah. 

To be continue ....

7 komentar:

Pribadi Hebat

Pikiran sehat adalah pribadi yang sehat         Buku Pribadi Hebat ditulis oleh Prof. Dr. Hamka dengan penerbit Gema Insani....